Balung Buto Sangiran
Indonesia punya pengalaman panjang yang cukup buruk dalam melestarikan peninggalan zaman lampaunya. Salah satu pengalaman itu berkait dengan pelestarian Situs Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang pada 5 Desember 1996 diakui sebagai warisan dunia nomor 593 oleh UNESCO. Sejak pengakuan itu, situs tersebut secara resmi bernama “Sangiran Early Man Site”.
Pengakuan prestisius itu sebenarnya terbilang wajar bila melihat potensi Sangiran. Sejak penemuan alat-alat batu manusia purba oleh Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald pada 1934, berbagai penemuan di Sangiran memang susul-menyusul seolah tanpa henti.
Selama kurun waktu puluhan tahun terakhir, sudah ada sekitar 50 individu fosil manusia Homo erectus. Temuan tersebut mewakili 65 % fosil Homo erectus yang ditemukan di seluruh Indonesia atau 50 % populasi fosil Homo erectus di dunia. Elfrida Anjarwati, salah seorang arkeolog Museum Sangiran, menyebut Situs Sangiran sebagai situs manusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia—sebagian pihak lainnya bahkan mengatakan situs ini merupakan yang terpenting di dunia.
Namun, meski sudah jelas-jelas terbukti memiliki potensi arkeologis luar biasa dan diakui secara internasional, tampaknya selalu saja ada kendala dalam melestarikan Sangiran. Salah satu persoalan terpentingnya adalah menghalangi praktik jual beli fosil di sana. Dalam rentang waktu yang terbilang lama, praktik semacam ini terus terjadi dan sulit ditanggulangi. Penjualan fosil secara ilegal itu jelas merugikan kepentingan penelitian arekologi Sangiran sekaligus mengkhianati amanah dari UNESCO—pengakuan Sangiran sebagai warisan dunia sejatinya mewajibkan tiap elemen masyarakat dunia untuk ikut serta menjaga situs itu.
Bagaimana sebenarnya awal mula praktik penjualan fosil-fosil di Situs Sangiran? Benarkah ini hanya persoalan ekonomi semata?
Ternyata, bila ditelusuri secara agak mendalam, praktik ini bukanlah semata-mata akibat ketidakmampuan ekonomi para penduduk setempat. Ada faktor kultural yang mulanya menyebabkan ihwal ini terjadi. Persoalan kultural ini terutama berkait dengan cara pandang masyarakat Sangiran terhadap fosil-fosil manusia purba yang terserak sangat banyak di dekat tempat mereka. Sejak waktu yang sangat lama, masyarakat Sangiran telah mengenal fosil-fosil tersebut tapi dengan cara pandang yang sangat berlainan dengan cara mereka menilai peninggalan-peninggalan purba itu.
Seperti halnya masyarakat tradisional lainnya, cara pandang kuno masyarakat Sangiran terhadap fosil-fosil manusia purba itu mulanya dipengaruhi oleh mitos. Dalam Buku Balung Buto, Warisan Budaya Dunia dalam Perspektif Masyarakat Sangiran (2003), Bambang Sulistyanto mengisahkan, masyarakat Sangiran zaman lampau menyebut tulang-tulang yang mereka temukan di sekitar Sangiran sebagai balung buto atau tulang raksasa. Masyarakat percaya, pada suatu kurun waktu tertentu, Sangiran pernah menjadi wilayah kekuasaan para raksasa. Mitos ini antara lain diperkuat oleh keberadaan Dusun Bapang dan Desa Saren.
Masyarakat Sangiran menganggap nama Dusun Bapang diambil dari peristiwa dilemparnya para raksasa oleh seorang tokoh bernama Raden Bandung hingga para raksasa itu njepapang atau terjengkang. Sementara, nama Desan Saren diambil dari peristiwa terbunuhnya para raksasa sampai saren atau darahnya tercecer.
Toponimi ini menopang mitos balung buto sehingga bahkan masyarakat mempercayai tulang-tulang berukuran besar ini bisa digunakan sebagai jimat untuk menyembuhkan banyak sekali penyakit—mulai kadas, kurap, demam, bisul, encok, gatal-gatal, keseleo, sampai gigitan binatang berbisa. Balung buto bahkan diimani dapat memperlancar proses kelahiran, sebagai jimat kebal senjata tajam, dan pengusir setan.
Pasca- Koenigswald
Seandainya kearifan lokal ihwal balung buto itu terus bertahan, pastilah tidak terjadi praktik jual beli fosil secara gelap di Sangiran masa kini. Sayangnya, kepercayaan tersebut perlahan-lahan mulai terpupus, terutama sejak kedatangan Koenigswald pada 1934. Waktu itu, Koenigswald—yang tak mungkin bekerja sendirian meneliti lahan arkeologis di Sangiran yang sangat luas—mengajak seorang bocah setempat kelas 5 SD bernama Citro Suroto untuk menemaninya mencari fosil. Citro Suroto adalah orang lokal pertama yang berinteraksi langsung dengan Koenigswald dalam hal kerja mencari fosil.
Tiap hari, sejak pukul delapan pagi, Citro menemani Koenigswald menjelajah wilayah-wilayah di Sangiran. Ia biasa membawakan payung bagi Koenigswald sehingga secara luas ia dijuluki sebagai “si anak payung”. Dari proses bersama inilah Citro belajar seluk-beluk fosil sebab tiap menemukan fosil, Koenigswold akan bercerita padanya soal temuan itu. Dari cerita-cerita inilah, Citro mulai memahami wujud fosil, bagaimana cara mengambil dan memperlakukannya supaya tak rusak, bahkan Citro mulai paham bagaimana memperkirakan umur fosil.
Lama-kelamaan, ketika ia mulai berkeluarga, Citro mengajarkan pengetahuannya tentang fosil kepada keluarganya, sementara para tetangga Citro juga mulai belajar soal itu. Bertepatan dengan itu, para peneliti asing mulai datang dan mereka pastilah membutuhkan penduduk lokal untuk menemani pencarian fosil. Maka, muncullah “anak-anak payung” lainnya sehingga secara turun-temurun penduduk Sangiran mulai memahami seluk-beluk fosil. Bersamaan dengan proses itu, pandangan mereka ihwal tulang-tulang manusia itu pun berubah. Karena para peneliti asing yang datang ke Sangiran selalu memberikan imbalan uang bagi tiap tulang yang ditemukan, para penduduk pun mulai menganggap tulang-tulang itu tidak sebagai balung buto tapi sebagai “barang jualan”.
Di sinilah proses pencerabutan kearifan lokal terjadi, sementara pandangan rasional-ilmiah tentang fosil—yang menganggap fosil manusia tak sekadar sebagai “barang dagangan” tapi lebih sebagai properti penelitian muasal manusia—tak pernah bisa dicerna secara baik oleh masyarakat setempat. Persepsi yang tinggal di benak sebagian masyarakat pun sekadar persepsi dangkal-materialistik yang menilai fosil sebagai komoditas.
Inilah sesungguhnya yang memulai proses perdagangan fosil secara ilegal di Sangiran sehingga untuk menangkal hal itu secara luas dan permanen kita harus terlebih dulu merubah persepsi fosil sebagai komoditas. Sosialisasi gagasan ilmiah sekaligus pengingatan kolektif akan makna tulang-tulang itu dalam mitos tradisional perlu dilakukan sebagai langkah awal menjaga keutuhan dan kelengkapan Sangiran.
Haris Firdaus
ps: gambar diambil dari sini
jangankan urusan fosil dan peninggalan purbakala… urusan budaya asli saja banyak yang terlupa… giliran di-klaim oleh orang lain mencak-mencak.. (doh)
setuju sama mas andy, banyak yang dilupakan sebenarnya di Negara yang banyak memiliki peninggalan sejarah dan budaya ini
Sangiran… inget ama manusia purba
pitecantrupus erectus… hehe..
bener gak seh nyebutnya???
Wah ternyata di sana banyak juga ya peninggalan purbakala, apalagi sudah diakuisi, yang penting bagaimana peninggalan sejarah itu bisa menjadi ilmu pengetahuan buat anak cucu kita, dan bukan untuk diperjual belikan oleh oknum untuk kepentingan pribadi…ya intinya sejarah dan budaya wajib dipelihara… seeeeeppp bos..
Nggak ada satupun yang dirawat dengan baik…
Peninggalan sejarah, bonbin, tempat rekreasi, fasilitas umum dll.
Semua jorok.
kesadaran memiliki memang belum tertanam secara baik di hati nurani rakyat bangsa ini mas.
kesadaran itu akan muncul jika semuanya sudah di klaim atau diambil orang lain
setuju banget ma dhafy, ditempat aku juga ada prasasti kuno, tapi sayangnya sampe sekarang nggak terawat… dan hampir musnah gt.
uang mampu merubah sejarah
berarti ini semua berasal dari kebiasaan…
harusnya tuh bule ngajarin betapa pentingnya penemuan tersebut untuk keperluan pendidikan dunia dan jangan hanya memberikan uang saja
buset, berawal dari mitos akhirnya berpikir duit
hmm…
susah juga kalo ngubah udah jadi kebiasaan seperti itu
tapi apa bener disana gampang sekali ditemukan tulang berserakan seperti makam di Toraja
tidak cuma di sangiran… masyarakat indonesia memang tak bisa menghargai sejarah , semmua peninggalan sudah hampir hancur…
ia yah…..kok lupa…..
padahal itu penting bgt……
sejarah oh sejarah…
kita yang hanya disuruh ngrawat ajah kok susah yaks
Apa betul jika mitos buto itu bertahan fosil2 juga akan selamat? Terus terang saya ga seyakin ente, bro.
Ada banyak contoh di mana mitos yang bertahan pun tak mampu menghalahi penetrasi kapital dalam mengakuisisi fosil2 itu secara ilegal. Situs-situs di pedalaman Amazon adalah contohnya. Ini menjadi ilustrasi paling baik betapa kekuatan kapital bisa mengangkangi kekuatan mitologi yang bertahan di kepala para penduduk. Mereka pny kapital, pny jaringan [dari para pencoleng kelas teri sampai pejabat level A], juga pny teknik dan teknologi. Lha lukisan2 dg pengamanan paling canggih pun bisa dibobol kok. Itu ilustrasi sederhananya.
Buku terbaik Mircea Eliade tentang “mitologi sebagai gerak balik kepada keabadian” pun dengan meyakinkan menyebut bahwa mitologi tak akan pernah bisa bertahan digempur oleh modernisme dengan kekuatan kapitalnya, terkecuali jika mitologi itu bisa dikonversi ke dalam satu kesadaran yang lebih rasional. Artinya, mitologi itu dibedah-ulang sehingga ia hadir di kepala generasi-generasi terbaru bukan sebagai sesuatu yang gaib dan wingit, tapi sebagai satu elemen dari narasi besar pemahaman tentang asal-usul komunal.
Bagi saya, harus dicari cara lain selain berharap pada kekuatan mitologi yang terang-terang rapuh dihadapan para pemilik kapital itu. Huizinga, ketika menjelaskan bagaimana tilas2 peradaban renaissance bisa bertahan dg sangat baik di kota-kota italia, menyebutkan betapa itu semua bisa terjadi karena suatu proses “pendidikan” yang panjang di mana diwedarkan kesadaran betapa apa yang tertinggal dari masa lalu adalah sesuatu yang pantas dan harus dijaga. Ada kesadaran yang kuat betapa masa kini dan masa depan mereka terhubung dalam satu kontinum dengan masa silam.
Saya kira, mendidik dan membangun kesadaran tentang pentingnya fosil-fosil itu akan jauh lebih pny masa depan sebagai salah satu alternatif ketimbang mengeluhkan punahnya mitologi, termasuk mitologi balung buto.
@ zen: jika penetrasi kapital terjadi dan mengalahkan mitos, itu kan artinya mitos tak lagi dipercayai. ia tak lagi bertahan bagi sebagian orang itu. saya juga berpendapat bahwa sangat susah–atau malah memang tak mungkin–mengembalikan mitos dg kekuatan seperti dulu, saat di mana manusia belum digempur modernisme. karena itu pula, saya juga berpendapat bahwa gagasan ilmiah itu perlu disosialisasikan dlm kasus ini. sementara, mitos balung buto perlu dikisahkan kembali–atau mungkin dikeluhkan kepunahannya–supaya masyarakat mengingat lagi bagaimana perlakuan leluhur mereka terhadap fosil. tak ada yang jelek dlm soal pengingatan ini menurutku, bro.
Perkara jual beli benda peninggalan kuno memang memprihatinkan, ya…
Seharusnya semua peninggalan itu jadi konsumsi publik karena pertanggungjawaban moral serta sejarah pada anak cucu ketimbang dikurung di museum-museum pribadi yang berduit…
pertanyaan ringan saja, seandainya fosil2 itu tersimpan rapi. kemudian dipelajari. kira-kira kita akan memperoleh manfaat apa ya? mengetahui ‘kelampauan’? setelah itu akan kita apakan pengetahuan ini ya?
soal diskusimu dan Zen: saya kira, penetrasi kapital memang terus berlari, dia tidak pernah menghiraukan mitos, kepercayaan, atau belas kasihan. Kapital punya kepercayaannya sendiri. hmm… solusinya saya sepakat dengan penyadaran secara ilmiah terhadap warisan-warisan itu. bukan lagi dengan mitos-mitos lama, atau bahkan membuat mitos baru. sekarang kita semakin dapat menganggap masyarakat sebagai intelektuil person. hehehe…istilahnya… pokoknya itu.
menurutku, kapitalis juga berangkat dari logika-logika berpikir, hanya saja terlalu picik dan berpikiran jangka pendek. halah..
aku senenge balungan sapi wae lah/…
jikakakakaa
mari jaga heritage kita….
semangat..
kejadian jual-beli seperti di sangiran selalu ada di sekitar situs purbakala, repotnya klo hal ini sdh melibatkan jaringan mafia. ini terjadi juga di dekat situs candi batujaya. kalo nggak salah dua tahun lalu masyarakat di sekitarnya ngacak2 sawah tegalnya untuk mendapatkan beraneka macam peninggalan masa lalu, sementara di warung2 sdh ada org2 yg siap membeli barang temuan mereka.
**saya lg baca MTI 2 mas.. minggu lalu pesen ke mas Yudhi.
semoga tulisan ini dibaca oleh bapak dinas yang mengurusi segala budaya yang ada di nusantara ini 😉
Kapan-kapan saya tak kesana kang. Mencoba menelisik secara Geologis…. :p
menarik sekali akan ceritera ini
wah, saya sudah lama banget ndak ke sangiran, mas haris. hmmm … ternyata ada juga balung buto-nya.
belum pernah ke museum itu
saya membayangkan nasibnya terbengkalai seperti museum-museum yang lain..
daerah ku juga bnyak tuh yang kurang dapat perhatian pemerintahan..
Yang itu gading yak ^_^…V salam D3pd…
dari pada jual diri kayaknya bro
maaf baru sempat mampir nih setelah kesibukan mendera
Orang sini malah tergila2 sama budaya jepang yah, atau korea. Bener2 dah 😆
bangsa ini memang tidak menghargai masa lalu dan meremehkan masa depan…
hm.. saya baru tahu kalau fosil dijual belikan.